EDUCATION
Kampus Indonesia Sulit Naik Peringkat Dunia? Mengapa?
‘Penyakit Kronis’ Kampus Indonesia: Sulit Tembus Peringkat Dunia, Ini 5 Akar Masalahnya
Setiap tahun, saat lembaga-lembaga pemeringkat universitas global seperti QS World University Rankings (QS WUR) atau Times Higher Education (THE) merilis daftar terbaru mereka, ada sebuah pola yang selalu berulang bagi Indonesia: stagnasi. Tentu, ada beberapa kampus Indonesia top seperti UGM, UI, dan ITB yang berhasil masuk ke dalam daftar, bahkan menunjukkan sedikit perbaikan peringkat. Namun, secara keseluruhan, universitas-universitas kita masih berjuang keras untuk bisa menembus jajaran 200 besar dunia, apalagi 100 besar.
Di saat negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan bahkan Tiongkok melesat jauh, kita seolah-olah “berjalan di tempat”. Padahal, potensi yang kita miliki luar biasa besar: jumlah mahasiswa yang masif, akademisi yang brilian, dan dukungan anggaran pendidikan yang signifikan dari APBN. Lantas, apa sebenarnya “penyakit kronis” yang membuat kampus Indonesia begitu sulit untuk bisa bersaing di panggung dunia? Para pakar pendidikan dan akademisi menyoroti beberapa akar masalah fundamental yang seringkali luput dari perhatian.
Apa yang Diukur oleh Peringkat Dunia?
Sebelum menyalahkan kampus, kita harus paham dulu apa yang sebenarnya dinilai oleh lembaga pemeringkat ini. Mereka tidak hanya menilai “gedung yang megah” atau “jumlah mahasiswa”. Bobot penilaian terbesar hampir selalu diletakkan pada dua pilar utama:
- Kualitas Riset dan Sitasi: Seberapa banyak penelitian berkualitas tinggi yang dihasilkan oleh dosen? Dan yang lebih penting, seberapa sering penelitian tersebut dikutip (citation) oleh ilmuwan-ilmuwan lain di seluruh dunia?
- Reputasi Akademik dan Lulusan: Bagaimana persepsi para akademisi global dan para pemberi kerja (employer) terhadap kualitas lulusan dari universitas tersebut?
Selain itu, ada juga faktor-faktor lain seperti rasio dosen dan mahasiswa, jumlah mahasiswa internasional, dan jumlah dosen internasional.
Lima Akar Masalah yang Menghambat Kampus Indonesia
Berdasarkan analisis para ahli, berikut adalah lima masalah utama yang menjadi “rem” bagi kemajuan universitas di Indonesia.
1. Ekosistem Riset yang Belum Kompetitif
Ini adalah masalah terbesar. Produktivitas dan dampak riset dari kampus Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan standar global.
- Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas: Dosen seringkali dibebani oleh tuntutan administrasi untuk menghasilkan sejumlah “poin” penelitian, yang mendorong mereka untuk mempublikasikan banyak riset di jurnal-jurnal yang kualitasnya kurang teruji, alih-alih fokus pada satu riset mendalam yang bisa menembus jurnal top dunia.
- Minimnya Dana Riset Inovatif: Meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN, alokasi untuk dana riset yang kompetitif dan berjangka panjang masih sangat terbatas.
- Budaya Sitasi yang Lemah: Dampak sebuah riset diukur dari seberapa banyak ia disitasi. Para akademisi kita masih perlu didorong untuk menghasilkan penelitian yang lebih relevan dan berdampak global sehingga layak untuk dikutip.
2. ‘Tembok’ Bahasa dan Internasionalisasi yang Lambat
Untuk bisa bersaing di panggung dunia, sebuah universitas harus “berbahasa” global.
- Hambatan Bahasa Inggris: Ini masih menjadi kendala klasik. Banyak dosen dan peneliti brilian yang kesulitan untuk mempublikasikan karya terbaik mereka di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi (yang hampir semuanya menggunakan Bahasa Inggris) karena keterbatasan bahasa.
- Minimnya Dosen dan Mahasiswa Asing: Peringkat dunia sangat menghargai kampus yang “plural” dan kosmopolitan. Tingkat kehadiran dosen dan mahasiswa internasional di kampus Indonesia masih sangat rendah. Ini mengurangi pertukaran ide, keragaman perspektif, dan reputasi kampus di mata akademisi global.
3. Beban Administrasi Dosen yang Berlebihan
Menjadi seorang dosen di Indonesia seringkali berarti menjadi seorang administrator. Dosen di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) “tenggelam” dalam tumpukan pekerjaan administrasi, laporan birokrasi, dan jam mengajar yang sangat tinggi. Akibatnya, waktu, energi, dan fokus mereka untuk bisa melakukan penelitian yang mendalam dan berkualitas menjadi sangat terkuras.
4. Kurangnya Otonomi Kampus
Meskipun beberapa kampus top sudah berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang memberikan otonomi lebih, sebagian besar universitas masih sangat terikat pada regulasi birokrasi yang kaku dari kementerian. Hal ini membuat kampus menjadi lambat dalam bergerak, sulit untuk merekrut talenta global, dan tidak fleksibel dalam mengelola keuangannya sendiri untuk mengejar target-target inovatif.
5. Keterputusan dengan Dunia Industri (Link and Match)
Peringkat dunia sangat menilai reputasi lulusan di mata para pemberi kerja. Di sinilah letak salah satu kelemahan kita. Seringkali, ada kesenjangan (gap) yang terlalu besar antara apa yang diajarkan di ruang kelas dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh dunia industri. Kurikulum dianggap kurang relevan, membuat lulusan kampus Indonesia membutuhkan waktu adaptasi yang lebih lama saat memasuki dunia kerja.
Upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan kini dimulai dari level yang paling dasar. Program wajib belajar 13 tahun yang kini mencakup PAUD adalah sebuah investasi jangka panjang untuk bisa menghasilkan input mahasiswa yang lebih berkualitas di masa depan.
Untuk melihat daftar peringkat universitas dunia dan metodologi penilaiannya secara lengkap, sumber-sumber kredibel seperti QS World University Rankings adalah rujukan utama.
Perjalanan Peringkat Kampus Indonesia: Sebuah Maraton, Bukan Lari Cepat
Perjalanan kampus Indonesia untuk bisa menembus jajaran elite dunia adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Ini bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dalam satu atau dua tahun hanya dengan “menyuntikkan” dana besar. Ini membutuhkan sebuah reformasi yang fundamental dan sistemik, dimulai dari perubahan budaya riset, penyederhanaan birokrasi, hingga peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Kita memiliki semua potensi yang dibutuhkan. Yang kita perlukan sekarang adalah kemauan politik yang kuat dan fokus jangka panjang untuk membenahi “penyakit-penyakit kronis” ini, agar suatu hari nanti, nama-nama universitas kita bisa berdiri sejajar dengan para raksasa di panggung global.