Connect with us

Finance

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 Stagnan, OJK Soroti Tata

Published

on

Peringkat Korupsi Indonesia Stagnan, OJK Desak Perbaikan Tata Kelola

Sebuah potret yang jujur dan sedikit mengkhawatirkan kembali disajikan ke hadapan publik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti posisi Indonesia yang masih tertahan di papan tengah dalam Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) global. Data terbaru menunjukkan bahwa persepsi korupsi Indonesia di mata dunia masih menjadi sebuah tantangan besar. Hal ini membutuhkan perbaikan fundamental di semua lini.

Dalam acara Risk & Governance Summit yang digelar di Jakarta pada Selasa (19/8), Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, Sophia Wattimena, membeberkan data tersebut. Peringkat yang stagnan ini, menurutnya, adalah sebuah sinyal bahwa upaya pemberantasan korupsi dan perbaikan tata kelola (governance) tidak bisa lagi dianggap sebagai sekadar kewajiban administratif, melainkan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak untuk kemajuan bangsa.

Korupsi Indonesia di Panggung Dunia: Peringkat 99 dari 180 Negara

“Indonesia menghadapi tantangan tersendiri terkait governance, di mana Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 37. Ini menempatkan kita di peringkat 99 dari 180 negara,” ungkap Sophia Wattimena dalam sambutannya.

Apa arti dari angka-angka ini? CPI adalah sebuah indeks yang dirilis setiap tahun oleh Transparency International, sebuah lembaga global yang memantau korupsi. Indeks ini mengukur persepsi tingkat korupsi di sektor publik suatu negara di mata para ahli dan pelaku bisnis. Skalanya berkisar dari 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Skor 37 yang didapat Indonesia menunjukkan bahwa kita masih dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi. Bahkan jauh di bawah rata-rata skor global. Peringkat 99 dari 180 negara juga menempatkan kita di separuh bawah, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Mengapa Skor Indonesia Sulit Naik?

Stagnasi skor CPI Indonesia ini dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang saling berkaitan. Para analis menunjuk pada beberapa masalah utama:

  • Birokrasi yang Rumit dan Tidak Efisien: Proses perizinan yang berbelit-belit dan lambat seringkali membuka celah bagi praktik pungutan liar (pungli) dan suap untuk “mempercepat” urusan.
  • Penegakan Hukum yang Dianggap Belum Maksimal: Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga lain terus bekerja, penindakan terhadap kasus-kasus korupsi besar (high-profile) terkadang dianggap belum memberikan efek jera yang maksimal.
  • Kurangnya Transparansi: Terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah serta di sektor-sektor yang berkaitan dengan sumber daya alam.
  • Intervensi Politik: Adanya campur tangan politik dalam proses hukum dan bisnis masih menjadi salah satu tantangan terbesar.

Solusi OJK: Penguatan Ekosistem GRC

Menghadapi tantangan ini, OJK menekankan pentingnya penguatan ekosistem GRC, yang merupakan singkatan dari Governance, Risk management, and Compliance (Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan).

“Ekosistem GRC bukan sekadar kewajiban administrasi, melainkan sebuah kebutuhan,” tegas Sophia. GRC adalah sebuah pendekatan terintegrasi yang harus dimiliki oleh setiap institusi, baik pemerintah maupun swasta, untuk memastikan mereka berjalan di atas rel yang benar.

  • Governance (Tata Kelola): Memastikan semua keputusan dibuat secara transparan, akuntabel, dan beretika.
  • Risk Management (Manajemen Risiko): Mengidentifikasi, menganalisis, dan memitigasi semua potensi risiko yang bisa merugikan institusi, termasuk risiko korupsi dan penipuan.
  • Compliance (Kepatuhan): Memastikan semua operasional berjalan sesuai dengan hukum, peraturan, dan standar etika yang berlaku.

Upaya untuk memperkuat tata kelola ini juga terlihat di lembaga lain. Di sektor keuangan, misalnya, lembaga seperti PPATK terus memperketat pengawasan. Bahkan PPATK membeberkan alasan mereka memblokir rekening nganggur, yang tujuannya adalah untuk mencegah rekening tersebut disalahgunakan untuk pencucian uang, sebuah tindakan yang sangat berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi.

Untuk melihat laporan lengkap dan metodologi di balik Indeks Persepsi Korupsi, publik bisa mengaksesnya langsung di situs web resmi Transparency International (dengan asumsi laporan 2024 sudah dirilis pada awal 2025).

Sebuah Panggilan untuk Aksi Kolektif

Pada akhirnya, peringkat Indeks Persepsi Korupsi yang stagnan ini adalah sebuah cermin bagi kita semua. Ini bukanlah hanya “masalah pemerintah” atau “masalah OJK”. Memberantas korupsi di Indonesia adalah sebuah perjuangan kolektif yang membutuhkan partisipasi dari seluruh elemen bangsa. Pernyataan dari OJK adalah sebuah panggilan untuk aksi—sebuah desakan bagi semua institusi untuk mulai memandang tata kelola dan manajemen risiko bukan sebagai beban, tetapi sebagai fondasi utama untuk membangun bisnis dan negara yang lebih kuat, lebih bersih, dan lebih bermartabat di mata dunia. Perjalanan masih panjang, dan kerja keras harus terus dilanjutkan.