Connect with us

OLAHRAGA

Bos LaLiga Sebut Piala Dunia Antarklub Bencana, Ada Apa?

Published

on

Bos LaLiga: Piala Dunia Antarklub Hanya Membawa Bencana!

Dunia sepak bola global kembali memanas, dan kali ini bukan karena aksi di lapangan hijau, melainkan karena perang dingin di meja para petinggi. Suara paling keras datang dari Javier Tebas, Presiden LaLiga Spanyol, yang tanpa tedeng aling-aling melabeli format baru Piala Dunia Antarklub FIFA yang berlangsung pada musim panas 2025 ini sebagai sebuah “bencana”. Pernyataan pedas ini menjadi puncak dari kegelisahan yang sudah lama terpendam di kalangan liga-liga top Eropa dan serikat pemain.

Turnamen yang digagas FIFA sebagai panggung termegah bagi klub-klub di seluruh dunia ini justru dilihat sebagai ancaman serius. Tebas dan banyak tokoh lainnya menuduh FIFA bersikap arogan, mengabaikan kesehatan pemain, dan secara serakah mencoba mengambil alih kalender sepak bola yang sudah sangat padat. Ini bukan lagi sekadar perdebatan tentang jadwal; ini adalah pertarungan adu kuat antara FIFA dengan liga-liga domestik dan UEFA. Pertarungan yang mempertaruhkan kesejahteraan para pemain bintang dan bahkan masa depan struktur sepak bola itu sendiri. Ada apa sebenarnya di balik kontroversi besar ini?

Format Baru Piala Dunia Antarklub 2025: Apa yang Berubah?

Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu melihat betapa drastisnya perubahan format turnamen ini. Selama bertahun-tahun, kita mengenal Piala Dunia Antarklub sebagai sebuah turnamen singkat yang digelar di akhir tahun. Format lamanya hanya mempertemukan 7 tim: para juara dari enam konfederasi benua (UEFA, CONMEBOL, AFC, CAF, CONCACAF, OFC) ditambah satu tim dari negara tuan rumah. Turnamen ini berlangsung cepat, sekitar 10 hari, dan seringkali dianggap sebagai “bonus” penutup tahun bagi sang juara Liga Champions Eropa.

Namun, FIFA di bawah kepemimpinan Gianni Infantino punya visi yang jauh lebih besar. Edisi 2025 yang diselenggarakan di Amerika Serikat ini adalah monster yang sama sekali berbeda. Formatnya dirombak total menjadi sebuah turnamen raksasa yang diikuti oleh 32 tim, mirip seperti Piala Dunia antarnegara. Turnamen ini digelar selama sebulan penuh (Juni-Juli), tepat di slot waktu yang biasanya digunakan pemain untuk beristirahat atau melakukan tur pramusim. Alokasi pesertanya pun diperluas: 12 tim dari Eropa (UEFA), 6 dari Amerika Selatan (CONMEBOL), dan masing-masing 4 dari Asia (AFC), Afrika (CAF), dan Amerika Utara & Tengah (CONCACAF), serta 1 dari Oseania (OFC) dan 1 dari negara tuan rumah. Dengan format baru dan hadiah uang yang menggiurkan, FIFA ingin menjadikan ajang ini sebagai puncak tertinggi sepak bola level klub.

Kritik Pedas Javier Tebas: ‘Bencana’ Bagi Kalender dan Kesehatan Pemain

Inilah inti dari kemarahan Javier Tebas dan LaLiga. Menurutnya, penambahan turnamen sebulan penuh di musim panas adalah sebuah tindakan yang “membunuh” sepak bola dan para pelakunya. Argumen utamanya terfokus pada dua hal: kalender pertandingan dan kesejahteraan pemain. Kalender sepak bola modern sudah berada di titik jenuh. Para pemain bintang bisa bermain lebih dari 60 pertandingan dalam semusim untuk klub dan negara. Satu-satunya waktu bagi mereka untuk benar-benar memulihkan fisik dan mental adalah saat jeda musim panas. Dengan adanya Piala Dunia Antarklub, jeda krusial ini praktis hilang.

Tebas menuduh FIFA memperlakukan para pemain layaknya mesin yang bisa dieksploitasi tanpa henti demi keuntungan finansial. Risiko cedera, kelelahan kronis (burnout), dan penurunan performa menjadi ancaman nyata yang diabaikan. Ia berpendapat bahwa FIFA mengambil keputusan ini secara sepihak tanpa melakukan dialog yang berarti dengan liga-liga domestik yang “memiliki” dan membayar gaji para pemain tersebut sepanjang tahun. Bagi LaLiga, turnamen ini tidak hanya mengancam kesehatan pemain Real Madrid, Barcelona, atau Atletico Madrid yang berpartisipasi, tetapi juga mengancam kualitas kompetisi LaLiga itu sendiri di musim berikutnya karena para pemain bintangnya tidak mendapatkan istirahat yang layak.

Bukan Cuma LaLiga: Gelombang Protes dari Berbagai Pihak

Kekhawatiran yang disuarakan Javier Tebas bukanlah suara tunggal. Ini adalah representasi dari gelombang protes yang lebih luas. FIFPRO, serikat pemain sepak bola profesional dunia, telah menjadi salah satu penentang paling vokal. Mereka mengancam akan mengambil tindakan hukum terhadap FIFA, dengan alasan bahwa penambahan turnamen ini melanggar hak para pemain untuk mendapatkan periode istirahat yang terjamin. FIFPRO telah berulang kali memperingatkan bahwa kesehatan mental dan fisik para pemain sudah berada di ambang batas, dan turnamen ini adalah langkah yang melewati batas tersebut.

Liga-liga top Eropa lainnya, termasuk Premier League Inggris, juga menyuarakan keprihatinan serupa, meskipun mungkin dengan nada yang lebih diplomatis. Mereka khawatir turnamen ini akan mendevaluasi kompetisi mereka, terutama Liga Champions UEFA yang selama ini dianggap sebagai puncak sepak bola klub. Masalah penjadwalan ini seolah menjadi tren yang mengkhawatirkan. Sebelumnya saja, jadwal kualifikasi untuk turnamen besar lainnya sudah carut-marut, seperti saat 6 laga FIFA World Cup 2026 ditunda, yang menunjukkan betapa sulitnya menyusun kalender yang manusiawi. Penambahan Piala Dunia Antarklub ini bagi banyak pihak terasa seperti menuang bensin ke dalam api yang sudah membara.

FIFA Bergeming: Uang dan Kekuasaan di Balik Turnamen Raksasa

Di tengah badai kritik, FIFA tetap bergeming dan melanjutkan rencananya. Mengapa? Jawabannya, seperti biasa dalam sepak bola modern, adalah kombinasi antara uang dan kekuasaan. Dari sisi finansial, Piala Dunia Antarklub format baru ini adalah sebuah tambang emas. FIFA memproyeksikan pendapatan miliaran dolar dari hak siar televisi, sponsor global, dan penjualan tiket. Ini adalah aliran pendapatan masif yang akan langsung masuk ke kas FIFA, memperkuat posisi finansial mereka secara signifikan.

Dari sisi kekuasaan, turnamen ini adalah langkah geopolitik yang sangat strategis. Selama ini, panggung sepak bola klub paling bergengsi dan menguntungkan adalah Liga Champions, yang berada di bawah kendali UEFA. Dengan menciptakan turnamen tandingan yang lebih besar dan lebih global, FIFA secara efektif sedang merebut pengaruh dan kendali atas sepak bola klub dunia dari tangan UEFA. FIFA berdalih bahwa turnamen ini justru bagus untuk “demokrasi” sepak bola, memberikan kesempatan bagi klub-klub dari luar Eropa untuk lebih sering bertanding di panggung dunia dan mendapatkan eksposur serta pendapatan yang lebih besar. Namun, bagi para kritikus, ini hanyalah kedok untuk agenda sentralisasi kekuasaan dan komersialisasi yang lebih jauh.

Dampak Jangka Panjang: Masa Depan Sepak Bola di Persimpangan Jalan

Kontroversi Piala Dunia Antarklub ini lebih dari sekadar perdebatan jadwal. Ini adalah momen yang bisa menentukan arah masa depan sepak bola. Salah satu dampak potensial adalah meningkatnya “kekuatan pemain” (player power). Jika para pemain bintang, didukung oleh serikat mereka, mulai benar-benar menolak untuk bermain, ini bisa memicu sebuah revolusi di mana para atlet menuntut hak yang lebih besar dalam menentukan nasib mereka sendiri.

Selain itu, ada risiko devaluasi turnamen-turnamen lain. Apakah menjuarai Liga Champions akan terasa sama spesialnya jika sebulan kemudian ada “juara dunia klub” yang baru? Apakah gelar liga domestik yang diperjuangkan selama 10 bulan akan terasa kurang bergengsi? Konflik antara FIFA dan liga-liga Eropa ini telah menjadi sorotan utama media olahraga internasional. Analisis mendalam dari ESPN menyoroti bagaimana perebutan kalender ini pada dasarnya adalah perebutan pengaruh dan pendapatan miliaran dolar yang akan sangat memengaruhi struktur sepak bola untuk dekade berikutnya. Ini adalah pertarungan tentang siapa yang berhak mengklaim waktu dan tenaga aset paling berharga di sepak bola: para pemain.

Benarkah Piala Dunia Antarklub 2025 Hanya Bawa Bencana?

Pada akhirnya, kontroversi seputar Piala Dunia Antarklub 2025 menampilkan dua visi yang saling bertentangan tentang masa depan sepak bola. Di satu sisi, visi globalisasi dan komersialisasi maksimal dari FIFA. Di sisi lain, visi yang menuntut adanya keberlanjutan, kesejahteraan pemain, dan penghormatan terhadap tradisi liga domestik dari pihak liga dan serikat pemain. Turnamen ini telah menjadi garis pertempuran baru dalam perebutan kendali atas olahraga paling populer di dunia. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah turnamen ini akan sukses secara finansial, tetapi berapa harga yang harus dibayar oleh para pemain dan oleh olahraga itu sendiri untuk kesuksesan tersebut.

Continue Reading