Property

Analisis Fenomena Mal Tutup Permanen: Konsep Sudah Kuno?

Published

on

Kiamat Ritel? Fenomena Mal Tutup Bukan Cuma soal E-commerce, tapi Konsep yang Usang

Sebuah gedung megah yang dulu menjadi pusat keramaian, orang berkumpul, berbelanja, dan mencari hiburan, kini berdiri sunyi, gelap, dan terbengkalai. Pemandangan ini semakin banyak kita temui di berbagai kota besar di Indonesia. Gerai-gerai yang dulu terang benderang kini kosong melompong, ditutupi debu dan poster “Disewakan”. Fenomena mal tutup permanen ini telah menjadi sebuah “kiamat ritel” yang mengkhawatirkan.

Selama bertahun-tahun, kambing hitam utama dari fenomena ini selalu sama: ledakan e-commerce. Kemudahan berbelanja dari rumah melalui platform seperti Shopee dan Tokopedia dianggap sebagai peti mati bagi mal-mal sepi tersebut. Namun, menurut para pakar ritel dan properti, menyalahkan e-commerce sepenuhnya adalah sebuah penyederhanaan yang keliru.

Kenyataannya, banyak mal lain di lokasi yang berdekatan justru tetap ramai dan sukses luar biasa. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah pada online vs. offline. Masalah sesungguhnya, menurut para ahli, terletak pada konsep mal itu sendiri yang sudah ketinggalan zaman. Selain itu juga karena gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen.

Pergeseran Perilaku Konsumen: Generasi Baru Mencari ‘Pengalaman’

Untuk memahami mengapa fenomena mal tutup ini terjadi, kita harus melihat pergeseran fundamental pada perilaku konsumen, terutama Generasi Z dan Milenial.

  • Dari ‘Membeli Barang’ ke ‘Membeli Pengalaman’: Bagi generasi sebelumnya, mal adalah tujuan utama untuk berbelanja barang fisik. Namun, bagi generasi sekarang, “barang” bisa dengan mudah dibeli secara online. Mereka datang ke mal bukan lagi untuk berbelanja, melainkan untuk mencari pengalaman—sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan dari layar ponsel. Mereka mencari tempat untuk bersosialisasi, kuliner yang unik, hiburan (entertainment), atau sekadar spot foto yang Instagrammable.
  • Kebutuhan akan Third Place: Konsumen modern mendambakan “tempat ketiga” (third place)—sebuah ruang publik di luar rumah (tempat pertama) dan kantor (tempat kedua) di mana mereka bisa bersantai dan merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas.

Ciri-ciri Mal ‘Zaman Dulu’ yang Ditinggalkan

Mal-mal yang kini berguguran dan menjadi “mal hantu” adalah mereka yang gagal bertransformasi. Mereka masih terjebak dalam konsep lama dari era 1990-an atau 2000-an.

  • Desain yang Monoton dan Tertutup: Desain bangunannya kaku, gelap, minim cahaya alami, dan koridornya terasa seperti lorong yang membosankan.
  • Tenant Mix yang Usang: Isinya didominasi oleh department store yang besar (yang kini juga sedang berjuang), toko-toko pakaian yang generik, dan food court yang ala kadarnya.
  • Kurangnya Ruang Komunal: Tidak ada area terbuka hijau, amphitheater, atau ruang-ruang publik yang nyaman bagi pengunjung untuk sekadar duduk dan bersosialisasi.
  • Minim Aktivitas dan Event: Mal tersebut “diam”. Tidak ada event, pameran, atau atraksi yang bisa menarik orang untuk datang selain berbelanja.

Mal yang Sukses: Beradaptasi Menjadi Pusat ‘Lifestyle’

Di sisi lain, mal-mal yang tetap sukses di tahun 2025 adalah mereka yang telah berevolusi dari sekadar “pusat perbelanjaan” menjadi “pusat gaya hidup” (lifestyle center).

  • Fokus pada F&B dan Hiburan: Mereka secara drastis mengurangi porsi toko ritel fesyen dan memperbanyak porsi untuk restoran, kafe-kafe unik, bioskop premium, dan arena bermain (playground) anak-anak yang modern.
  • Desain Open-Air: Mengadopsi konsep semi-terbuka (open-air) dengan banyak ruang hijau, taman, dan area alfresco dining yang membuat pengunjung merasa lebih rileks dan tidak terkurung.
  • Menciptakan “Pengalaman”: Mereka secara rutin menggelar event yang menarik, mulai dari konser musik, bazaar kuliner, pameran seni, hingga festival komunitas.

Mereka sadar bahwa untuk bisa bersaing dengan e-commerce, mereka harus menawarkan sesuatu yang tidak bisa diklik: atmosfer, pengalaman, dan interaksi sosial.

Di dunia yang serba dinamis ini, adaptasi adalah kunci. Bahkan di sektor yang sangat rigid seperti administrasi pertanahan, kita melihat adanya upaya modernisasi. Memahami perbedaan antara pemisahan dan pemecahan sertifikat tanah adalah bagian dari adaptasi terhadap kebutuhan legalitas properti yang semakin kompleks.

Untuk mendapatkan analisis dan data terbaru mengenai tren industri ritel dan properti komersial di Indonesia, sumber-sumber kredibel dari konsultan properti seperti Colliers International – Indonesia (https://www.colliers.com/) adalah rujukan utama.

Fenomena Mal Tutup: Evolusi atau Mati

Fenomena mal tutup bukanlah sebuah kisah tentang kematian ritel fisik. Ini adalah sebuah kisah tentang evolusi. Ini adalah proses seleksi alam yang brutal, di mana mereka yang gagal beradaptasi dengan perubahan zaman akan tersingkir. E-commerce bukanlah pembunuhnya; tapi hanyalah sebuah katalisator yang mempercepat kematian dari konsep-konsep yang memang sudah usang. Masa depan mal tidak lagi terletak pada seberapa banyak barang yang bisa mereka jual, melainkan pada seberapa kaya pengalaman dan seberapa kuat komunitas yang bisa mereka bangun. Bagi para pengelola mal, pesannya sangat jelas: berevolusi atau mati.

Trending

Exit mobile version